SIDOARJO - Pria bertopeng itu berdiri dengan gagah. Badannya berlenggak-lenggok mengikuti irama gendang yang ditabuh enam orang di sampingnya. Tangan kanannya mengayunkan golok seakan menebas lawan yang datang.
Lantas kepalanya melongok ke kiri dan
ke kanan. Sorot matanya menatap tajam.Ya, itu adalah sekelumit adegan
yang sedang dimainkan oleh penari Barongan lanang, salah satu tokoh
dalam pertunjukan reog Cemandi di kawasan Alun-alun Sidoarjo, Minggu
(19/12).
Reog Cemandi adalah kesenian asli
Sidoarjo. Kesenian itu mulai muncul tahun 1926. Reog Cemandi berbeda
dengan Reog Ponorogo. Tidak ada warok. Topengnya pun tidak dihiasi bulu
merak seperti ciri khas yang ada pada reog Ponorogo. Irama musik yang
dimainkan pun cukup sederhana. Hanya memainkan angklung dan kendang
kecil. Kendang dan angklung itu ditabuh mengikuti irama.
Jumlah pemain Reog Cemandi sekitar 13
orang. Dua penari yang memakai topeng Barongan Lanang (laki-laki) dan
Barongan Wadon (perempuan), enam penabuh gendang dan empat pemain
angklung. “Kalau sekarang hanya sembilan saja yang main, karena
angklungnya sedang diperbaiki,” ucap Arif Juanda lagi.
Yang unik, semua peralatan yang
digunakan sekarang belum diganti samasekali. Enam gendang, dua topeng
dan angklung digunakan pemainnya selama turun temurun hingga generasi
kelima yang dipimpin Susilo saat ini.
Memang, Reog Cemandi hanya ada satu
yakni di Desa Cemandi kecamatan Sedati Sidoarjo. “Ini sudah dipakai
sejak generasi kelima. Tiap malam Jumat peralatan itu pasti dikasih uba rambe (sesajen) agar tetap awet,” tambahnya.
Saat memainkan tarian itu, dua penari
Barongan Lanang dan Barongan Wadon mengiringi penabuh gendang yang ada
di tengahnya. Enam penabuh gendang itu membentuk formasi melingkar
sambil mengikuti irama.
Dua penari itu belenggak-lenggok
disamping penabuh gendang. “Kalau penari Barongan menari seperti biasa,
sedangkan penabuh gendangnya membuat formasi melingkar membuat gerakan
seperti silat,” tambah Arif lagi.
Dulunya, reog Cemandi adalah
pertunjukan yang dipakai masyarakat desa Cemandi, kecamatan Sedati
untuk mengusir penjajah Belanda. Waktu itu, salah satu kyai dari Pondok
Sidoresmo Surabaya, menyuruh masyarakat setempat untuk membuat topeng
dari kayu pohon randu. Topeng itu dibentuk menyerupai wajah buto cakil
dengan dua taring. Setelah itu, masyarakat setempat melakukan
tari-tarian untuk mengusir penjajah yang akan memasuki desa Cemandi.
“Kalau ada kompeni datang, katanya di
desa kami langsung memainkan tarian itu, nanti topeng-topeng yang
menari menjadi ribuan orang. Itu yang membuat musuh menjadi takut,”
ucap Arif Juanda, salah satu pengurus paguyuban Reog Cemandi.
Selain untuk mengusir penjajah pada
waktu itu, tarian tersebut juga sebagai himbuan kepada masyarakat
sekitar untuk selalu mengingat Tuhan Yang Maha Esa. Anjuran itu
tersirat dalam sair pangelingan (pengingat) yang dilantunkan pemainnya
sebelum memulai pertunjukan. “Lakune wong urip eling gusti ning tansah ibadah ing tengah ratri,” ucap Arif Juanda menirukan sair itu.
Kini, pertunjukan reog Cemandi itu
sudah berubah fungsi. Masyarakat sekitar biasa mengundang kesenian Reog
Cemandi itu untuk hajatan mantenan, sunatan atau acara lainnya. Selain
itu, masyarakat sekitar percaya, bahwa tarian reog Cemandi bisa untuk
menolak balak (membuang sial). “Kalau arak-arakan pasti kami yang di
depan. Karena untuk menolak balak,” tegasnya lagi.
Selain Reog Cemandi, kesenian khas asli
Sidoarjo lainnya adalah tari Ujung. Tari Ujung adalah tarian untuk
meminta hujan. Dalam adegan tari tersebut, para penarinya yang hanya
memakai celana terlihat saling menyerang dengan menggunakan cambuk yang
terbuat dari rotan.
Yang diserang pun tidak boleh
menangkis. Itu artinya, penari harus merelakan tubuhnya untuk dipecut
(dicambuk) rotan oleh penari lainnya.”Rotannya harus diletakkan lebih
dulu untuk menerima pukulan rotan dari penari lain,” ucap Budiantoro,
koordinator kelompok tarian Ujung.
Ya, dua kesenian asli Sidoarjo itu
ditampilkan dalam acara Sidoart-jo Festival 2010 yang digelar dua hari
kemarin. Acara itu adalah ajang untuk melestarikan budaya local
Sidoarjo yang saat ini terancam punah. “Mudah-mudahan acara ini bisa
digelar setiap tahun untuk melestarikan kesenian asli Sidoarjo,” ucap
Ketua Bidang Program Dewan Kesenan Sidoarjo (DKS) Bambang Tri.SUMBER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar